Nilai Sosial Budaya dalam Pendidikan Indonesia
1. Definisi Pengajaran (Onderwijs) dan Pendidikan (Opvoeding)
Pengajaran (onderwijs) adalah proses pemberian ilmu atau pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan lahir dan batin peserta didik, dengan metode, materi, dan teknik yang sistematis untuk mencapai kompetensi tertentu.
Pendidikan (opvoeding) adalah upaya memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani anak selaras dengan lingkungan alam dan masyarakatnya, sehingga membentuk karakter dan kesiapan hidup dalam konteks sosial budaya.
Bersama-sama, keduanya mempersiapkan peserta didik untuk segala kepentingan dan kebutuhan hidup bermasyarakat dan berbudaya.
2. Filosofi Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik
Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 sebagai wujud gerakan pendidikan nasional yang merdeka. Ia memperkenalkan tiga prinsip kepemimpinan pendidikan:
- Ing Ngarsa Sung Tuladha: “yang di depan memberi teladan”.
- Ing Madya Mangun Karsa: “yang di tengah membangkitkan semangat”.
- Tut Wuri Handayani: “yang di belakang memberikan dorongan”
Prinsip-prinsip tersebut menjadikan peran guru sebagai fasilitator—memandu dan mendampingi siswa menemukan potensi, bukan sebagai otoritas tunggal. Dengan demikian, pembelajaran menjadi berpusat pada kebutuhan dan minat peserta didik (student-centered learning).
3. Integrasi Nilai Sosial Budaya
Dalam konteks lokal, menuntun anak berarti memperkenalkan nilai-nilai adat, norma, dan kearifan lokal melalui:
- Permainan tradisional sebagai media pengembangan sosial.
- Kerajinan tangan atau seni lokal untuk menumbuhkan kreativitas.
- Upacara adat untuk memperkuat identitas serta rasa kebersamaan.
Pendidik menampilkan keteladanan nyata (role model) dalam berperilaku sesuai nilai budaya, sehingga murid meresap dan menghayati nilai luhur masyarakatnya.
4. Relevansi dengan Profil Pelajar Pancasila
Sebagai guru profesional, penerapan filosofi Dewantara selaras dengan enam kompetensi Profil Pelajar Pancasila:
- Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
- Mandiri dalam belajar dan berkarya.
- Bergotong-royong dalam kerja sama.
- Berkebinekaan global dengan sikap inklusif.
- Bernalar kritis dalam memecahkan masalah.
- Kreatif dalam berinovasi dan berekspresi.
Enam profil ini dikembangkan melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam Kurikulum Merdeka, yang menekankan proses berbasis projek untuk penguatan karakter siswa.
5. Refleksi dan Rencana Implementasi
Sebelum memahami kiat Dewantara, saya memandang peserta didik ibarat “bejana kosong” yang harus diisi melalui ceramah. Pendekatan ini sering kali membuat siswa pasif.
Setelah mempelajari filosofi Dewantara, saya mengubah metode menjadi berpusat pada siswa. Saya akan:
- Menciptakan lingkungan belajar kondusif—nyaman, aman, dan penuh motivasi.
- Menjadi fasilitator: mendampingi, menuntun, serta memberi ruang eksplorasi bakat dan minat.
- Menggunakan asesmen autentik dan metode pembelajaran inovatif (PBL, diskusi, studi lapangan).
- Menyesuaikan tuntutan kodrat alam (kearifan lokal) dan kodrat zaman (teknologi digital).
Dengan demikian, saya berharap setiap murid merasakan kebebasan belajar (merdeka belajar), sesuai potensi dan karakteristiknya, tanpa tekanan seragam.
6. Kesimpulan
Nilai sosial budaya dan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara memandu guru menjadi penuntun sejati—bukan pengisi pasif—dalam proses pembelajaran. Perpaduan antara definisi pengajaran dan pendidikan, prinsip Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, serta Profil Pelajar Pancasila, membentuk kerangka kerja holistik yang memerdekakan dan menguatkan karakter peserta didik dalam menghadapi tantangan zaman dan menghayati akar budaya lokal.